Awalnya Cuma Ingin Jualan Biasa di Tanah Abang, Pedagang Ini Justru Menemukan Cara Mengelola Modal Receh Lebih Rapi berkat kebiasaan kecil yang ia lakukan di sela-sela melayani pembeli. Namanya Raka, pedagang kaus dan celana rumahan yang lapaknya tidak besar, tapi perputaran barangnya lumayan cepat. Ia datang subuh, bongkar karung, pasang gantungan, lalu mulai berhadapan dengan realitas yang sering diremehkan: uang kecil yang keluar masuk tanpa terasa, dari uang parkir, ongkos angkut, sampai kembalian yang “hilang” entah ke mana.
Selama bertahun-tahun, Raka menganggap recehan itu bukan masalah. Ia fokus pada omzet harian dan merasa aman selama stok terus berputar. Namun suatu minggu, ia sadar uang belanja stok mendadak seret, padahal penjualan tidak turun drastis. Dari situ ia mulai menelusuri satu per satu pengeluaran yang biasanya dianggap sepele. Ternyata yang bocor bukan satu pengeluaran besar, melainkan puluhan pengeluaran kecil yang tak pernah dicatat.
Kebocoran Receh yang Sering Tidak Terlihat
Di Tanah Abang, ritme transaksi cepat dan banyak keputusan diambil dalam hitungan detik. Raka terbiasa memberi diskon spontan, menambah plastik, membayar jasa angkut dadakan, dan menitip uang ke teman lapak untuk beli sarapan. Semua nominalnya kecil, tapi sering terjadi. Ketika ditotal, pengeluaran receh itu bisa setara satu bal kaus per minggu—jumlah yang terasa besar jika baru disadari di akhir bulan.
Yang membuatnya semakin yakin adalah pola yang berulang: hari ramai belum tentu hari “bersih”. Ia pernah pulang dengan uang tunai tebal, tapi keesokan harinya tetap bingung saat harus menambah stok. Ia lalu menyadari bahwa uang tunai yang terlihat banyak tidak selalu berarti modal aman. Tanpa pemetaan, recehan berubah jadi kabut yang menutupi kondisi usaha sebenarnya.
Momen Mengubah Kebiasaan: Dari “Ingat-ingat” ke Catat
Perubahan dimulai saat Raka melihat pedagang kain senior di blok sebelah menuliskan semua transaksi di buku kecil yang sudah lusuh. Bukan sekadar penjualan, melainkan juga ongkos troli, biaya makan, sampai tips kecil untuk porter. Raka sempat menganggap itu terlalu ribet, tetapi pedagang senior itu mengatakan satu hal yang menempel di kepala: “Kalau receh nggak dicatat, dia akan jadi ‘pajak’ harian yang kamu bayar tanpa sadar.”
Raka mencoba meniru dengan cara yang sederhana. Ia tidak langsung membuat pembukuan rumit; ia hanya menyiapkan satu buku saku dan satu pulpen yang diikat dengan karet agar tidak hilang. Setiap uang keluar, ia tulis cepat: jam, nominal, dan alasan. Ia juga membatasi catatan hanya tiga kata kunci, misalnya “angkut”, “plastik”, “makan”. Kebiasaan ini terasa mengganggu di awal, tetapi setelah tiga hari, tangannya otomatis bergerak tanpa perlu berpikir panjang.
Sistem Tiga Kantong untuk Memisahkan Modal
Setelah dua minggu, Raka melihat catatannya mulai membentuk pola. Pengeluaran terbesar ternyata bukan ongkos lapak, melainkan biaya “kecil-kecil” yang berulang. Ia kemudian membuat sistem tiga kantong sederhana: kantong modal stok, kantong operasional harian, dan kantong cadangan. Masing-masing diberi batas yang jelas. Begitu kantong operasional habis, ia tidak boleh mengambil dari modal stok, kecuali ada alasan yang ditulis dan disetujui dirinya sendiri.
Sistem ini membuat Raka lebih disiplin saat menghadapi situasi mendadak. Misalnya ketika ada pembeli minta tambahan plastik atau minta antar ke titik tertentu, ia bisa menghitung apakah layanan ekstra itu masih masuk jatah operasional. Ia juga belajar menahan diri dari “diskon kebiasaan” yang sering diberikan hanya karena tidak enak. Dengan batas kantong, keputusan menjadi lebih rasional: diskon boleh, tetapi harus ada catatan dan tujuan, misalnya untuk pelanggan grosir yang berpotensi kembali.
Menetapkan Patokan Harian: Bukan Menekan, Tapi Mengarahkan
Raka tidak ingin sistemnya terasa seperti hukuman. Ia lalu menetapkan patokan harian yang realistis: berapa maksimal uang kecil yang boleh keluar untuk makan, transport, dan kebutuhan lapak. Patokan ini bukan angka sakral, melainkan rambu agar ia sadar saat pengeluaran mulai melebar. Ia membuatnya berdasarkan rata-rata catatan dua minggu pertama, lalu menurunkannya sedikit agar ada ruang perbaikan.
Menariknya, patokan itu justru membuatnya lebih tenang. Ia tidak lagi menebak-nebak apakah hari itu “boros” atau “hemat”. Di sore hari, ia cukup mengecek buku saku dan menghitung cepat. Jika pengeluaran melewati patokan, ia tidak panik; ia hanya menandai penyebabnya. Dari penandaan itu, ia menemukan solusi praktis, seperti membawa botol minum sendiri, menyiapkan plastik ukuran tertentu dari rumah, dan menjadwalkan angkut barang agar tidak membayar dua kali.
Memahami Arus Kas Lewat Catatan Sederhana
Setelah satu bulan, Raka mulai bisa membaca arus kas lapaknya seperti membaca peta. Ia tahu kapan uang masuk paling besar, kapan stok harus ditambah, dan kapan sebaiknya menahan belanja barang yang “lucu-lucu” tapi tidak cepat laku. Ia juga memisahkan uang hasil penjualan dari uang modal dengan lebih rapi. Yang dulu terasa sama-sama “uang di dompet”, kini punya fungsi yang berbeda.
Ia bahkan membuat kebiasaan menutup hari dengan ringkasan singkat: total penjualan, total pengeluaran, dan sisa kas. Tidak ada istilah akuntansi yang rumit. Ia hanya ingin memastikan satu hal: besok bisa belanja stok tanpa mengorbankan kebutuhan lain. Dari situ, ia mulai berani menetapkan target yang masuk akal, misalnya menambah satu jenis produk yang margin-nya lebih stabil, atau mengurangi barang yang sering membuatnya memberi diskon besar.
Dampak Nyata di Lapak: Keputusan Lebih Cepat dan Lebih Tenang
Perubahan terbesar bukan pada angka, melainkan pada cara Raka mengambil keputusan. Saat pemasok menawarkan harga miring untuk pembelian banyak, ia tidak lagi tergoda hanya karena “kesempatan”. Ia membuka catatan, melihat sisa modal stok, menghitung putaran barang, lalu memutuskan. Kadang ia ambil, kadang ia tolak, tetapi keputusan itu tidak lagi membuatnya menyesal karena ada dasar yang jelas.
Raka juga merasakan efeknya pada hubungan dengan pembeli dan pekerja sekitar. Ia lebih tegas soal kembalian, lebih jelas saat memberi potongan, dan tidak mudah terseret permintaan mendadak yang menguras kas kecil. Recehan yang dulu dianggap remeh kini menjadi alat ukur kesehatan usaha. Dari kebiasaan sederhana—mencatat dan memisahkan—lapaknya tetap sama, tetapi pengelolaan modalnya jauh lebih rapi dan terukur.

